Jumat, 14 Juli 2023

YANG TERCATAT DARI WEBINAR F-PRB PROVINSI NTT

Kalaksa BPBD Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Ambrosius Kodo, dalam  webinar yang mengambil topik harmonisasi data PKD ke dalam data destana, jumat (14/07/2023), yang diadakan oleh F-PRB NTT, mengatakan bahwa banyak program dari kementerian (lembaga) yang masuk ke Desa.

Namun masing-masing masih mengedepankan ego sektoral dalam “membelanjakan” anggarannya untuk selesainya pogram tangguh bencana. Padahal, katanya bencana itu urusan bencana, namun ternyata masing-masing masih punya aturan main sendiri-sendiri.

Sehingga, yang sering terjadi, program destana dari BNPB dan BPBD untuk membangun desa tangguh, kurang berdampak positif. Seperti banyak program yang mengucur ke desa namun setelah itu “hilang” gaungnya seiring selesainya pelaporan program.

“Seandainya semua program dari berbagai lembaga itu dapat disinergikan dengan satu panduan yang sama, pastilah upaya membangun desa tangguh itu akan tercapai,” Kata kalaksa dalam paparannya.

Hal ini sejalan dengan paparannya, yang mengatakan bahwa dalam destana, proses pengelolaan risiko bencana adalah proses aktif masyarakat dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, dan mengevaluasi risiko bencana untuk mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketangguhan.

Untuk itulah, perlu kiranya para pihak duduk bersama memikirkan bagaimana “mengawinkan” berbagai program yang masuk ke desa untuk membangun satu desa tangguh bencana yang benar-benar tangguh, dengan dukungan dana desa. Mengingat, sampai saat ini penggunaan dana desa untuk mendukung upaya pengurangan risiko bencana, belum menjadi prioritas.

Sementara itu, petrasa wacana, dari CBDRM policy development advisor, mengatakan bahwa akhir-akhir ini bencana semakin sering datang dengan segala dampak yang ditimbulkan. Sehingga banyak masyarakat yang terganggu kehidupannya, bahkan menjadi korban.

Sehingga, ke depan perlu kiranya melibatkan elemen pentahelix, khususnya dunia usaha dan NGO yang memiliki dana untuk mendukung upaya pengurangan risiko bencana, dalam rangka membangun ketangguhan masyarakat.

Ini penting, agar apa yang dilakukan sejalan dengan visi PRBBK tahun 2024 - 2045, yaitu mewujudkan resiliensi masyarakat indonesia terhadap bencana dan krisis iklim untuk pembangunan berkelanjutan.

Petra juga menampilkan misi PRBBK yang perlu dipahami oleh para pihak, diantaranya, penguatan kebijakan dan program PRBBK yang sinergis, inklusif, berperspektif gender, mandiri dan berkelanjutan. Kemudian, upaya peningkatan kapasitas ketangguhan serta kepemimpinan lokal dalam pengembangan PRBBK, dan Perluasan melalui pelembagaan dan replikasi praktek PRBBK berbasis kawasan dalam konteks sosial ekologi dan risiko bencana.

Harapannya, semua kebijakan yang masuk ke desa harus berbasis PRBBK. Sebuah harapan yang tampaknya jauh panggang dari api. Hal itu karena semua program masih berbasis pada daya serap anggaran sehingga sulit untuk meniadakan ego sektoral.

Kemudian, yang sering terjadi adalah munculnya anggapan bahwa desa/kelurahan yang telah mendapatkan program destana, langsung dianggap sudah tangguh bencana. Begitu juga dengan sekolah yang telah mendapat giliran program SPAB, langsung dilabeli dengan sekolah yang sudah aman bencana.

Untuk itulah, strategi yang diambil dalam rangka harmonisasi data destana untuk bahan penilaian ketangguhan desa, menurut kalaksa BPBD Provinsi NTT adalah, pertama, membuat desa/kelurahan tangguh bencana. Baik tingkat kabupaten/kota, provinsi. Terutama tingkat nasional, guna membangun kolaborasi, menjauhkan ego sektor dan mengintegrasikan semua upaya membangun desa/kelurahan tangguh bencana.

Kedua, kolaborasi dengan semua unsur pentahelix melalui F-PRB. Sedangkan program desa/kelurahan tangguh bencana sebagai media membangun ketangguhan desa/kelurahan.

Kemudian, mengoptimalkan media KKN Tematik di daerah masing-masing untuk pendataan, serta desa dengan otonominya mengintegrasikan PRBBK ke dalam seluruh proses pembangunan desa/kelurahan.

Dari sekian banyak komentar peserta webinar, komentar Fatoni dari PSKK UB, sangat menarik. Dimana dia mengatakan bahwa program destana itu sampai kiamat pun tidak akan selesai menjangkau seluruh desa/kelurahan di seluruh indonesia. Untuk itu perlu melibatkan kampus dengan KKN Tematiknya tentang upaya pengurangan risiko bencana.

Dia juga merasa, masih ada pihak yang menganggap kehadiran F-PRB sebagai saingan BPBD, sehingga keberadaannya belum termanfaatkan secara optimal. sebuah curhat yang dikemas dalam bentuk usulan yang seolah-olah benar, padahal banyak faktor yang bermain di situ.

 Mungkin maksud Fatoni adalah, program yang disusun F-PRB belum dapat disinergikan dengan programnya BPBD, terkait upaya pengurangan risiko bencana. Termasuk keterlibatan seluruh elemen pentahelix masih sekedar seremonial. Kondisi inilah yang kiranya perlu dipecahkan bersama.

Sementara, keberadaan komunitas relawan sebagai bagian dari pentahelix, juga belum dilibatkan dalam pelaksanaan PRBBK. Karena (mungkin), masih dianggap belum memiliki sumber daya manusia yang mumpuni dibidangnya.

Padahal, sering kali relawan tampil duluan di fase tanggap darurat dengan SDM yang apa adanya, namun hasil kerjanya cukup membanggakan dalam membantu penanggulangan bencana. Namun masih sering dianggap sebelah mata oleh beberapa pihak yang kurang paham Perka BNPB nomor 17 tahun 2011.

Hal ini perlu dimaklumi bahwa, yang bisa “bermain” dalam PRBBK untuk membangun desa/kelurahan tangguh, itu adalah para pihak yang memiliki anggaran. Sehingga, dengan anggaran itulah mereka bisa “memerintahkan” mereka yang menjadi sasaran untuk berbuat sesuatu sesuai agendanya.

Sementara, komunitas relawan paling bisanya sekedar sosialisasi upaya pengurangan risiko bencana dengan sasaran terbatas, dan hasilnya pun ya sekedar pengenalan untuk kemudian dilupakan. Kecuali punya anggaran lebih untuk menindak lanjutinya. Atau ada pihak lain yang ikut cawe-cawe mendanai relawan untuk melaksanakan programnya.

Usulan menarik juga muncul dari Norman, ketua F-PRB NTT. Dia mengusulkan agar desa/kelurahan yang tidak mengikuti proses PKD dengan baik, maka diberi sanksi pengurangan anggaran desa/kelurahan.

Apapun gagasan yang muncul dalam webinar kali ini, termasuk upaya tindak lanjutnya, patutlah diacungi jempol kepada F-PRB NTT yang disokong Siap Siaga, dapat menyelenggarakan webinar dengan dinamis.

Semoga  materi webinar dapat direplikasikan di daerah lain. tentunya dengan dukungan Siap Siaga atau, pihak lain yang berkepentingan. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/SabtuPahing-15072023]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   

 

1 komentar:

  1. Sesungguhnyalah para pihak yg berkenan terjun langsung ke lokasi bencana untuk membantu bnpb/bpbd dlm PB pastilah punya uang saku pribadi yg terbatas.
    namun banyak yg dibantu uang saku dari pihak lain.

    BalasHapus