Kemarin,
hari selasa (20/02/2024) kawan-kawan dari HFI (Humanitarian Forum Indonesia)
bersama USAID (United States Agency for International Development), menggelar webinar
peran relawan pada masa kedaruratan bencana. Tujuannya memperkuat kapasitas
relawan untuk penanganan darurat bencana.
Webinar
yang diikuti oleh berbagai komunitas relawan dan pekerja kemanusiaan itu ada
yang mengusulkan tentang perlunya ada panduan manajemen relawan, serta diadakan
sertifikasi relawan dalam rangka standarisasi kompetensi di semua klaster.
Ada juga
yang bilang perlunya pendataan relawam melalui Desk Relawan BNPB, untuk
kemudian relawan yang sudah terdaftar diajak mengikuti jambore relawan sebagai
media meningkatkan kapasitas dan memudahkan koordinasi.
Konon, disamping
ada Desk Relawan, juga ada pihak yang membuat E-Volunteer. Dualisme aplikasi ini
juga membingungkan. Enaknya pilih DR atao EV ?. Senyatanyalah keduanya ini belum
jelas kebermanfaatannya bagi relawan.
Terkait dengan
pendataan, sebelum turun ke lokasi bencana, hendaknya relawan lapor diri di
posko induk agar keberadaannya terdaftar dan memudahkan berkoordinasi serta
pemerataan sebaran relawan untuk menangani korban di seluruh lokasi
pengungsian.
Dalam webinar
kali ini masih juga muncul keluhan tentang aktivitas relawan di lokasi bencana kurang di perhatikan dan didukung oleh pemerintah daerah. Bahkan ditanya
kapasitas yang dimiliki, apakah sudah punya sertifikat penanggulangan bencana
atau belum, dan diperingatkan agar tidak menjadi beban di lokasi bencana.
Walaupun sifatnya
kasuistik, Sesungguhnyalah apa yang disampaikan di atas itu merupakan bentuk
kekurang pahaman para pihak dalam melihat keterlibatan relawan di masa darurat.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan si oknum yang sok tanya itu tidak tahu
tentang masalah bencana. Apalagi ikut sertifikasi bidang penanggulangan bencana
yang harganya dua jutaan lebih dikit.
Pada
kenyataannya, di banyak kasus, relawan datang ke lokasi bencana itu hanya
berbekal niat tulus membantu sesamanya yang mengalami musibah bencana, tanpa harus
melihat kemampuannya, apalagi membawa sertifikat. Bawa dompet saja isinya
pas-pasan, kadang memprihatinkan. Yang penting punya waktu dan merasa mampu langsung
berangkat dulu, lainnya dipikir nanti di lokasi sambil ngopi
Sungguh seandainya
saat tiba di lokasi, relawan ditanya tentang kompetensi, sertifikasi, surat
tugas, kelengkapan peralatan, dan lainnya, pasti banyak relawan yang akan balik
kanan, pulang tidak jadi membantu.
Jika itu
terjadi maka pemerintah, dalam hal ini BPBD dan Dinas Sosial akan kewalahan
menangani banyaknya pengungsi. Belum lagi menangani kerusakan rumah warga, fasum
dan fasos yang berantakan. Pasti termehek-mehek.
Yang
jelas, webinar ini sebagai upaya memadukan antara teori dan konsep yang ada,
dengan kondisi bencana di lokasi. Bisa saja jenis bencananya sama, namun
berbeda penanganannya karena berbagai faktor yang mengikutinya. Termasuk
keberadaan SDM yang menangani.
Alangkah
eloknya jika keberadaan relawan di lokasi bencana itu dikoordinasikan dengan
baik, diberi arahan agar upaya penanggulangan bencana dapat berjalan efektif,
lancar dan terkendali. Wallahu a’lambishowab.[eBas/KamisWage-22022024]]
Relawan disini baru diakui saja
BalasHapusJadi ingat dengan pertanyaan balik dari seorang teman... Apakah seluruh kalaksa Kabid kasi sampai staf dan pegawai BPBD sudah memiliki sertifikasi kebencanaan...? Semua punya andil masing-masing... Yuk kita bermanfaat untuk semua... Kita mempermudah semua urusan dalam kemanusiaan jangan malah mempersulit diri.... Kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah
BalasHapusbeberapa relawan hanya berharap agar keberadaannya ketika membantu di lokasi bencana diperhatikan (disapa, dirangkul diajak ngobrol) dan diajak koordinasi sehingga relawan merasa "di uwong ke"
BalasHapusjangan hanya dipanggil ketika tenaganya diperlukan untuk usung2 dan angkat2 barang dari truck ke gudang atau sebaliknya.
ingat relawan bukan kuli panggul gratisan