Selasa, 02 April 2024

TRAUMA HEALING DALAM KOMENTAR PANJANG

 Gempa Tuban beberapa waktu yang lalu, ternyata juga menjadi petaka bagi warga Pulau Bawean. Banyak kerusakan terjadi dimana-mana. Kerugian harta benda pun tidak sedikit menimpa warganya. Namun, dikarenakan kondisi geografis, bantuan dari luar agak terhambat masuk Pulau Bawean.

 Berbagai komunitas relawan bersiap dengan segala perbekalan dan kemampuannya, antri menuju Bawean, untuk mendarma baktikan diri menolong sesamanya yang tertimpa musibah bencana gempa.

 Di lokasi, mereka langsung berkoordinasi dengan berbagai pihak, untuk menyusun aksi dan membagi diri menangani apa yang harus ditangani agar tidak terjadi miskomunikasi. Termasuk lapor diri ke Desk Relawan yang dibentuk BPBD Provinsi Jawa Timur.

 Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah mengadakan layanan dukungan psikososial (LDP), dengan sasaran anak-anak. Konon, LDP ini untuk menggantikan istilah trauma healing (TH). Mengapa harus diganti ?. Agar tidak terjadi kesalah pahaman yang berujung dipaido berjamaah, mari ditanyakan ke ahlinya.

 Ada komentar menarik dalam grup whatsapp, bahwa Saat di lokasi bencana masih sering terjadi miskonsepsi antara psychological first aid (PFA) atau LDP dengan trauma healing.

 Orang-orang yang mendatangi lokasi bencana setelah 2-5 hari pasca bencana, untuk memberikan bantuan psikologis sering menyebutnya dengan istilah trauma healing. Padahal yang benar adalah  pertolongan psikologis awal atau dukungan psikososial.

 Alasannya, pertama karena para penyintas bencana belum bisa disebut trauma, kedua karena trauma healing hanya bisa dilakukan oleh profesional seperti psikolog, konselor, atau psikiater. Mungkin juga oleh relawan yang telah tersertifikasi dengan benar. Bukan sekedar ikut program sertifikasi untuk memenuhi kuota saja.

 “PFA/LDP itu dapat dilakukan oleh siapa saja selama orang tersebut memahami prinsip-prinsip PFA/LDP, dan sudah mengikuti pelatihan bersama tenaga profesional,” Mengakhiri komentarnya.

 Yang jelas istilah TH itu masih saja sering dijumpai di lapangan. Bahkan pihak dinas sosial juga masih menggunakannya. Bahkan terkadang kawan-kawan di BPBD dan BNPB pun juga masih familier dengan istilah TH daripada LDP. Inilah (mungkin) kesalah kaprahan penggunaan istilah.

 “Bahkan, banyak pihak yang menganggap TH sebagai Obat yang menyembuhkan Trauma. Tapi sama halnya dengan Obat, pun kalo berlebih (Over Dosis), bisa fatal akibatnya,” Kata seseorang di grup whatsapp.

 “Pagi TH, siang TH, dan malam pun TH. Lha terus bagaimana dengan konsep pendidikan masa darurat ?,” Tanya yang lain

 Ada juga yang bilang bahwa Kegiatan TH itu bukan sekedar ngajak joget-joget, bermain, bernyanyi, dan lainnya seperti yang biasa dilakukan relawan di lapangan. Tapi ada kuesioner atau form penilaian yang diisi, ngajak ngobrol, dan lainnya. Dari situ Psikolognya bisa menyimpulkan kondisi penyintas itu seperti apa, perlu penanganan lanjutan apa tidak.

 Masalahnya, tidak setiap saat sang psikolog ada di tempat, sehingga hasil kuesionernya tidak segera diketahui untuk pengembilan langkah selanjutnya.

 Mungkin, hal seperti ini seringkali terjadi di lapangan, karena beberapa faktor, diantaranya: 1). Kurangnya pemahaman personil (relawan/pekerja kemanusiaan). 2). Kurangnya pengelolaan/pengaturan personil dalam respon. 3). Tidak adanya manajemen di setiap pos pengungsian, sehingga kurang tertata dan tidak terjadwal. 4). Kepentingan lembaga/organisasi sendiri yang tidak melihat kondisi di lapangan. 5). Masih adanya ego sektoral.

 Dari beberapa faktor tersebut bisa mengakibatkan penyintas lebih parah kondisi psikisnya, bukan malah pulih tapi tambah stres. Hal ini berdasarkan pengalaman waktu respon di Lumajang, karena seringnya ada relawan yg melakukan dampingan TH yang sehari bisa lebih dari 5 kali, kondisi penyintas (anak-anak) malah tidak stabil.

 Ini adalah pengalaman pribadi dari relawan yang sering ikut terjun di lokasi bencana. Mungkin akan berbeda dengan pengalaman relawan yang lain. Itu sah-sah saja, tidak perlu dipaido, juga tidak usah disalahkan.

 Masing-masing mempunyai cara sendiri untuk “berinteraksi” dengan penyintas dalam rangka mengurangi beban psikologi. Yang jelas, mereka sudah berani datang ke lokasi untuk berbuat sesuatu demi menolong warga terdampak bencana gempa Tuban di Pulau Bawean. Baik didukung dana pribadi, maupun diongkosi instansi.

 Mereka adalah orang-orang yang luar biasa, bahkan tidak perlu banyak berkata-kata, tapi langsung berkarya nyata (tentunya ada dana di belakangnya). Karena masih banyak relawan yang karena sesuatu dan lain hal tidak berkesempatan beraksi di lokasi bencana mendarma baktikan diri sebagai seorang relawan kemanusiaan bidang penanggulangan bencana. 

 Ya, mereka adalah relawan, yang jika berhasil tidak dipuji, namun kalau gagal langsung dimaki, dan jika sakit bahkan mati, itu salah sendiri.  

 Untuk itulah, sekedar diketahui, bahwa rangkaian tulisan ini adalah sekumpulan dari berbagai komentar di grup whatsapp, ketika melihat ada tenda di salah satu daerah di Pulau Bawean bertuliskan Tenda Trauma Healing. Sehingga tidak perlu ditanggapi secara serius, apalagi kemudian di paido, di clathu pol-polan secara berjamaah. Cukup di senyumi saja, sambil joget goyang gemoy.

 Ingat kata Evan Loss, “mbok ya sing full senyum sayang / ben aku tambah sayang / ra sah pusing-pusing / gek ndang dandan, ayo kita healing …. [eBas/SelasaWage-02042024]

1 komentar:

  1. Ada yg memaknai trauma healing (maksudnya LDP) itu adalah bagi2 sembako, tikar, terpal, dll ke kpd para penyintas.
    Juga ada yg ngumpulin anak2 untuk diajak bergembira sambil diberi roti/buku/mainan, dll sesuai kemampuan.
    Semua sah sah saja yg penting semua senang dan program berjalan

    BalasHapus