“Alat
yang diproduksi itu mahal daripada produk kami, termasuk alat yang dipasang di
Pancer itu mahal sekali. Jika dibelikan ke kami bisa mendapat 10 biji dengan
fungsi yang sama,” Kata Nara sumber di acara Open Talk yang digelar di Kampus
ITS, tepatnya Gedung Geofisika, sabtu pahing (10/8).
Open Talk
adalah Kegiatan pengimbasan ilmu dan pengalaman yang rutin digelar oleh
Masyarakat Tangguh Inklusif (MTI). Kegiatan ini disamping untuk anggota
terdaftar, juga dihadiri oleh berbagai komunitas yang peduli terhadap masalah
kebencanaan. Materinya beragam, biasanya disesuaikan dengan kejadian yang
sedang ngetren, dan dipandu oleh nara sumber yang kompeten. Untuk kegiatan kali
ini materinya berbicara tentang alat peringatan dini Fidela dan Pengalaman
mengikuti Ekspedisi Destana Tsunami (EDT) 2019 wilayah Jawa timur, mulai
Banyuwangi, Jember, Lumajang, Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, dan
berakhir di Pacitan.
Terkait dengan
early warning system (EWS), nara
sumber mengatakan bahwa di pantai selatan ada sekitar 400 EWS canggih buatan
luar negeri yang harganya miliaran rupiah, namun sayang kurang berfungsi
optimal, bahkan sudah banyak yang tidak berfungsi karena rusak maupun hilang
dicuri orang.
Dari situlah
nara sumber beserta tim nya membuat sendiri alat peringatan dini yang diberi
nama Fidela. Mereka berusaha membuat alat yang murah dengan fungsi sama, dilengkapi
dengan alat (semacam sensor atau CCTV, mungkin) untuk menjaga agar Fidela tidak
hilang dan berfungsi optimal. Artinya, alat ini dilengkapi software yang bisa mengirim sinyal jika tempatnya
berubah dari posisi semula atau dipindah oleh orang lain (dicuri), sehingga
cepat ditindak lanjuti.
Sayangnya,
sampai generasi ke 3, alat ini belum ‘digunakan’ oleh instansi yang berwenang
dalam hal penanggulangan bencana. mengapa bisa begitu ?. alat yang diproduksi
oleh anak negeri sendiri yang sangat canggih dan relatif murah itu, kok kalah
bersaing dengan produk luar negeri yang harganya tidak murah.
Menurut teori
ngawurologi, kemungkinan alat itu tidak dibeli dan belum digunakan secara
massal itu diantaranya, (1) alat itu kurang promosinya, sehingga kalah bersaing
dan tidak dikenal oleh calon konsumen. (2)
alat ini masih sebatas untuk pameran ilmiah atau sekedar untuk keperluan
mengikuti lomba berhadiah, dan (3) pengusahanya belum bisa “meng-entairtain” calon konsumen seperti
yang biasa dilakukan oleh pedagang (rekanan lembaga) pada umumnya, agar proyek
pengadaan alat itu jatuh ketangannya. (jika perlu, termasuk proyek
pemeliharaannya).
Apa yang
terpapar dalam teori ngawurologi itu bisa salah, namun juga bisa benar seperti
yang sering dikabarkan oleh burung melalui media massa. Seperti masalah impor
bawang yang dilakukan pengusaha tertentu yang berkolaborasi dengan anggota
dewan dan akhirnya menjadi tahanan KPK. Konon, pengusahanya juga harus meng entertain dulu agar proyeknya
berjalan. Guyonan yang sering dilontarkan adalah, semua yang berbau proyek itu
harus ada koordinasi dulu. Yaitu Koor nya ada di nasi. Jika ada nasi baru
terjadi koordinasi. Wallahu a’lam.
Tentu kedepan,
diharapkan alat canggih bikinan alumni ITS ini perlu diperkenalkan ke pihak
yang bertugas mengurusi bidang penanggulangan bencana. Caranya, dengan
menggelar kegiatan diskusi, seminar atau
apapun namanya dengan menghadirkan para pemegang kebijakan dan anggaran.
Tujuannya jelas agar mereka beralih memanfaatkan produk anak negeri, seperti
amanat Bung Karno, berdiri di kaki sendiri (berdikari).
Dari kegiatan
itu, mereka bisa langsung tahu bentuk alatnya,
melihat cara kerjanya dan lainnya untuk kemudian mau memborong alat ini untuk dipasang
diberbagai titik menggantikan alat yang telah terpasang dan hilang maupun yang
rusak. Narsumnya juga bilang bahwa sebaiknya sebelum alat dipasang haruslah
disosialisasikan lebih dulu ke masyarakat setempat agar mereka mengerti tujuan
dan manfaat pemasangan alat ini, sehingga tumbuh rasa ikut memiliki alat dan
mau memelihara serta menjaganya.
Sementara,
paparan nara sumber tentang pengalaman mengikuti EDT 2019, sangat menarik. Semangat
relawan dalam melakukan edukasi dan sosialisasi terkait dengan potensi bencana tsunami
di daerahnya, perlu mendapat apresiasi dan dilatih lagi agar semakin ‘luwes’ dalam berinteraksi langsung
dengan masyarakat sesuai kearifan lokal setempat.
Disisi lain,
ada masukan bahwa kegiatan EDT 2019 yang telah dirintis itu harus ada tindak
lanjutnya. Baik itu berupa KKN tematik maupun munculnya inisiatif dari BPBD untuk mengagendakan secara rutin diklat maupun
simulasi penanggulaan bencana kepada masyarakat. Sukur-sukur jika kegiatan
simulasi juga melibatkan unsur pentahelix.
Tanpa ada tindak lanjut, maka program EDT 2019 yang menelan biaya tidak sedikit itu tidak akan berdampak kepada upaya membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana. Seperti biasanya, kegiatan Open Talk diakhiri dengan foto bersama sebagai bukti fisik yang dapat dijadikan potofolio ketika nanti relawan berminat ikut sertifikasi relawan oleh LSP-PB. Salam Tangguh, Salam Kemanusiaan. [eBas/senin wage-12/8]
Tanpa ada tindak lanjut, maka program EDT 2019 yang menelan biaya tidak sedikit itu tidak akan berdampak kepada upaya membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana. Seperti biasanya, kegiatan Open Talk diakhiri dengan foto bersama sebagai bukti fisik yang dapat dijadikan potofolio ketika nanti relawan berminat ikut sertifikasi relawan oleh LSP-PB. Salam Tangguh, Salam Kemanusiaan. [eBas/senin wage-12/8]
manstab sekali, kegiatan di kampus ITS semoga menginspirasi bpbd dalam membina dan mengkoordinir relawan untuk kerja2 kemanusiaan.
BalasHapusterimakasih pak
BalasHapus