Senin, 12 Agustus 2019

YANG TERCATAT DARI OPEN TALK SABTU PAHING


                “Alat yang diproduksi itu mahal daripada produk kami, termasuk alat yang dipasang di Pancer itu mahal sekali. Jika dibelikan ke kami bisa mendapat 10 biji dengan fungsi yang sama,” Kata Nara sumber di acara Open Talk yang digelar di Kampus ITS, tepatnya Gedung Geofisika, sabtu pahing (10/8).

Open Talk adalah Kegiatan pengimbasan ilmu dan pengalaman yang rutin digelar oleh Masyarakat Tangguh Inklusif (MTI). Kegiatan ini disamping untuk anggota terdaftar, juga dihadiri oleh berbagai komunitas yang peduli terhadap masalah kebencanaan. Materinya beragam, biasanya disesuaikan dengan kejadian yang sedang ngetren, dan dipandu oleh nara sumber yang kompeten. Untuk kegiatan kali ini materinya berbicara tentang alat peringatan dini Fidela dan Pengalaman mengikuti Ekspedisi Destana Tsunami (EDT) 2019 wilayah Jawa timur, mulai Banyuwangi, Jember, Lumajang, Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, dan berakhir di Pacitan.

Terkait dengan early warning system (EWS), nara sumber mengatakan bahwa di pantai selatan ada sekitar 400 EWS canggih buatan luar negeri yang harganya miliaran rupiah, namun sayang kurang berfungsi optimal, bahkan sudah banyak yang tidak berfungsi karena rusak maupun hilang dicuri orang.

Dari situlah nara sumber beserta tim nya membuat sendiri alat peringatan dini yang diberi nama Fidela. Mereka berusaha membuat alat yang murah dengan fungsi sama, dilengkapi dengan alat (semacam sensor atau CCTV, mungkin) untuk menjaga agar Fidela tidak hilang dan berfungsi optimal. Artinya, alat ini dilengkapi software  yang bisa mengirim sinyal jika tempatnya berubah dari posisi semula atau dipindah oleh orang lain (dicuri), sehingga cepat ditindak lanjuti. 

Sayangnya, sampai generasi ke 3, alat ini belum ‘digunakan’ oleh instansi yang berwenang dalam hal penanggulangan bencana. mengapa bisa begitu ?. alat yang diproduksi oleh anak negeri sendiri yang sangat canggih dan relatif murah itu, kok kalah bersaing dengan produk luar negeri yang harganya tidak murah.

Menurut teori ngawurologi, kemungkinan alat itu tidak dibeli dan belum digunakan secara massal itu diantaranya, (1) alat itu kurang promosinya, sehingga kalah bersaing dan tidak dikenal oleh calon konsumen. (2)  alat ini masih sebatas untuk pameran ilmiah atau sekedar untuk keperluan mengikuti lomba berhadiah, dan (3) pengusahanya belum bisa “meng-entairtain” calon konsumen seperti yang biasa dilakukan oleh pedagang (rekanan lembaga) pada umumnya, agar proyek pengadaan alat itu jatuh ketangannya. (jika perlu, termasuk proyek pemeliharaannya).

Apa yang terpapar dalam teori ngawurologi itu bisa salah, namun juga bisa benar seperti yang sering dikabarkan oleh burung melalui media massa. Seperti masalah impor bawang yang dilakukan pengusaha tertentu yang berkolaborasi dengan anggota dewan dan akhirnya menjadi tahanan KPK. Konon, pengusahanya juga harus meng entertain dulu agar proyeknya berjalan. Guyonan yang sering dilontarkan adalah, semua yang berbau proyek itu harus ada koordinasi dulu. Yaitu Koor nya ada di nasi. Jika ada nasi baru terjadi koordinasi. Wallahu a’lam.

Tentu kedepan, diharapkan alat canggih bikinan alumni ITS ini perlu diperkenalkan ke pihak yang bertugas mengurusi bidang penanggulangan bencana. Caranya, dengan menggelar kegiatan diskusi, seminar  atau apapun namanya dengan menghadirkan para pemegang kebijakan dan anggaran. Tujuannya jelas agar mereka beralih memanfaatkan produk anak negeri, seperti amanat Bung Karno, berdiri di kaki sendiri (berdikari).

Dari kegiatan itu,  mereka bisa langsung tahu bentuk alatnya, melihat cara kerjanya dan lainnya untuk kemudian mau memborong alat ini untuk dipasang diberbagai titik menggantikan alat yang telah terpasang dan hilang maupun yang rusak. Narsumnya juga bilang bahwa sebaiknya sebelum alat dipasang haruslah disosialisasikan lebih dulu ke masyarakat setempat agar mereka mengerti tujuan dan manfaat pemasangan alat ini, sehingga tumbuh rasa ikut memiliki alat dan mau memelihara serta menjaganya.

Sementara, paparan nara sumber tentang pengalaman mengikuti EDT 2019, sangat menarik. Semangat relawan dalam melakukan edukasi dan sosialisasi terkait dengan potensi bencana tsunami di daerahnya, perlu mendapat apresiasi dan dilatih lagi agar semakin ‘luwes’ dalam berinteraksi langsung dengan masyarakat sesuai kearifan lokal setempat.

Disisi lain, ada masukan bahwa kegiatan EDT 2019 yang telah dirintis itu harus ada tindak lanjutnya. Baik itu berupa KKN tematik maupun munculnya inisiatif dari BPBD untuk mengagendakan secara rutin diklat maupun simulasi penanggulaan bencana kepada masyarakat. Sukur-sukur jika kegiatan simulasi juga melibatkan unsur pentahelix.

Tanpa ada tindak lanjut, maka program EDT 2019 yang menelan biaya tidak sedikit itu tidak akan berdampak kepada upaya membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana. Seperti biasanya, kegiatan Open Talk diakhiri dengan foto bersama sebagai bukti fisik yang dapat dijadikan potofolio ketika nanti relawan berminat ikut sertifikasi relawan oleh LSP-PB. Salam Tangguh, Salam Kemanusiaan.  [eBas/senin wage-12/8]




2 komentar:

  1. manstab sekali, kegiatan di kampus ITS semoga menginspirasi bpbd dalam membina dan mengkoordinir relawan untuk kerja2 kemanusiaan.

    BalasHapus