Kamis, 20 Agustus 2020

KETIKA SUNGAI SEMAKIN TERCEMAR

Seiring bertambahnya jumlah penduduk yang mengadu nasib ke Kota, berebut pekerjaan, maka kebutuhan akan tempat tinggal menjadi problema tersendiri. Khususnya masyarakat miskin yang nekat mengadu nasib tanpa dibekali keterampilan yang layak jual.

Sehingga yang terjadi mereka menggelandang di sudut-sudut Kota, bahkan di kuburan dan di kolong jembatan. Sudah menjadi bagian wajah Kota jika daerah sempadan sungai kini berubah fungsi menjadi hunian kaum 4T (tempat tinggal tidak tetap). Ya mereka terpaksa tinggal disitu karena tidak mampu kontrak rumah (nge kos).

Walhasil bibir sungai dipadati oleh rumah liar. Karena penghuninya sibuk dengan urusan perut, mereka tidak peduli dengan lingkungannya. Sungai pun menjadi multi fungsi. Ya untuk mandi, mencuci, kakus sekaligus tempat buang sampah. Segala macam sampah.

Disamping sampah rumah tangga dan barang bekas, sungai pun diam-diam juga dimanfaatkan oleh oknum sebagai tempat pembuangan limbah pabrik. Yang terjadi kemudian adalah, sungai semakin dangkal akibat cepatnya proses sedimentasi oleh aneka sampah, kualitas air sungai rendah karena dicemari aneka limbah berbahaya, dan tentu saja merusak keindahan Kota karena kumuh dan bau yang tidak sedap akibat onggokan sampah. Tentu ekosistem sungai pun menjadi rusak karenanya.

Berbagai komunitas yang peduli terhadap lingkungan alam, flora dan fauna, telah lama berteriak akan pentingnya menjaga alam, dan melestarikan lingkungan. Bahkan mereka melakukan demo ke berbagai instansi yang berwenang. Termasuk ke perusahaan yang diduga membuang limbahnya.

Mereka juga melakukan penelitian tentang lingkungan sungai dan hasilnya dipublikasikan. Namun nyatanya belum banyak pihak (terutama pemegang kebijakan) yang memperhatikan.

Gerakan bersih-bersih sampah domestik (plastik, popok dan pembalut) juga dijadikan agenda bersama. Menyelamatkan sempadan sungai dengan menanami tanaman pelindung untuk mencegah tumbuhnya pemukiman liar. Ada pula yang mencoba mengedukasi masyarakat sekitar sungai agar tumbuh kesadarannya untuk turut menjaga sungai agar bersih, sehat dan nyaman.

Mengusir mereka ?. Tentu tidak semudah membalik kedua telapak tangan. Karena banyaknya kepentingan yang bermain disana. Mereka juga manusia yang punya hak untuk hidup di Kota. Di sini, yang diperlukan adalah kepemimpinan yang kuat untuk menegakkan peraturan daerah. Paling tidak, sekarang sudah ada beberapa daerah yang berusaha menata pemukiman sekitar sungai agar tidak kumuh.

Apa yang dilakukan oleh berbagai komunitas itu merupakan bentuk kepedulian terhadap upaya mencegah (mengurangi) tingkat pencemaran yang mengakibatkan kerusahan alam.

Suara kepedulian itulah seharusnya ditangkap oleh pemerintah untuk menata ulang sempadan sungai agar tidak dimanfaatkan oleh oknum yang nakal demi kepentingannya. Sehingga konsep pembangunan berwawasan lingkungan menjadi nyata.

Pertanyaannya kemudian, akan dikemanakan onggokan sampah plastik, popok, pembalut dan lainnya yang berhasil dikumpulkan dalam acara bersih-bersih sungai?. Cara praktisnya adalah dibakar sampai benar-benar habis terbakar. Tapi ini bisa mengakibatkan polusi udara dan sesak napas dan penyakit lainnya.

Salah satu yang sering dilakukan untuk mengoalh onggokan sampah adalah menggunakan sistem 3R (ReuseReduce, dan Recycle).

Reuse berarti menggunakan kembali sampah yang masih dapat digunakan untuk fungsi yang sama ataupun fungsi lainnya. Reduce berarti mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan sampah. 

Sementara Recycle berarti mengolah kembali (daur ulang) sampah menjadi barang atau produk baru yang bermanfaat.

Sedangkan Reduce berarti kita mengurangi penggunaan bahan-bahan yang bisa merusak lingkungan. Reduce juga berarti mengurangi belanja barang-barang yang anda tidak “terlalu” butuhkan seperti baju baru, aksesoris tambahan atau apa pun yang intinya adalah pengurangan kebutuhan.

Mungkin inilah yang perlu dijadikan bahan edukasi kepada masyarakat, khususnya yang mendiami sempadan sungai untuk memanfaatkan sampah menjadi berkah. Konsep bank sampah juga perlu di sosialisasikan.

Namun, membangun kesadaran untuk hidup bersih dan tidak membuang sampah sembarangan, itu bukan perkara mudah. Beberapa komunitas telah melakukan itu dan berhasil, hanya dampaknya belum signifikan.

Yang jelas gerakan peduli alam dan upaya pelestarian lingkungan itu akan terus bergaung, termasuk ajakan untuk tidak membuang sampah di sungai, agar tidak semakin tercemar. Walaupun lirih, akan terus disuarakan oleh para pengabdi lingkungan tanpa kenal lelah dan menyerah. Wallahu a’lam bisshowab. [eBas/JumatWage-21082020]

 

 

1 komentar:

  1. untuk para pegiat lingkungan alam
    untuk para pelestari flora fauna
    untuk para pekerja kemanusiaan
    tetap tabah jangan sampai lelah lalu menyerah
    sungguh segala pernuatanmu, walau sepele
    itu merupakan ladang pahala yang akan menyertaimu menuju surha-NYA

    BalasHapus