Dalam
postingannya di grup whatsapp PRBBK Indonesia, Kang Aep bilang, Setiap ada
kejadian bencana, kenapa selalu ada penjarahan bantuan dari warga lokal. Tanya
itu muncul karena adanya penghadangan yang dilakukan oleh para pengungsi yang
mendirikan tenda pengungsian mandiri dan merasa belum mendapat bantuan.
Memang,
peristiwa penghadangan itu sering terjadi di wilayah bencana. Baik itu skala
kecil dan tidak terberitakan, maupun yang diberitakan tanpa ada tindakan tegas dari
aparat karena dianggap sebagai tindakan keterpaksaan atas nama kemanusiaan.
Ada yang
bilang, Kadang urusan perut itu bisa menjadikan gelap mata, dan itu bisa
terjadi dimana saja, oleh siapa saja, dan berupa apa saja. Jadi, banyak alasan
mengapa terjadi penghadangan. Termasuk pandainya si oknum mendirikan posko
pengungsian abal-abal hanya untuk mendapatkan bantuan kemudian dijual.
Dengan
kata lain, beragam motif yang mendasari perbuatannya. Ada yang hanya demi
sekedar sebungkus indomie untuk mengganjal perut. Juga ada yang memang berniat
nakal memanipulasi data demi mengeruk keuntungan dari aneka bantuan yang bisa
didapat (termasuk memotong anggaran proyek di semua fase penanganan bencana).
Rujito,
dalam komentarnya di grup whatsapp mengatakan, memang kecemburuan sosial
diantara para penyintas itu muncul karena dropping bantuan yang tidak merata.
Apalagi jika tempat pengungsiannya sulit dijangkau kendaraan. Alamat luput dari
perhatian.
Masih
kata Rujito, ketidak merataan ini juga terjadi karena masing-masing entitas
pemberi bantuan itu mendasarkan pada issue lembaga masing-masing dan (dengan
berdalih agar cepet nyampe di kelompok sasaran), maka masing-masing entitas
pemberi bantuan langsung droping/memberikan sendiri, tidak menyerahkan ke posko.
“Padahal
di posko sudah ada daftar warga manĂ yang mau didrop bantuan lebih dulu. Pemberi
bantuan yang tidak terkoordinasi inilah yang menjadi trigger kecemburuan
sosial, sehingga muncul tindakan penghadangan.,” Katanya.
Sementara
itu, dibeberapa kasus, pihak posko terkesan lamban ribet dalam mendistribusikan
bantuan kepada pengungsi, karena adanya aturan yang harus dipenuhi (Standard
Operating Procedure (SOP) adalah sebuah dokumen berisikan instruksi
tertulis yang menentukan bagaimana bisnis Anda harus dijalankan sesuai dengan
prosedur yang benar), sehingga warga lebih suka minta bantuan ke tenda relawan/NGO yang ada disekitar pengungsian.
Sesungguhnyalah,
kejadian semacam ini selalu terulang dengan berbagai modus, tanpa ada upaya
menyudahi. Misalnya dengan membuat regulasi untuk mengamankan bantuan dari
penghadangan. Polisi dan TNI sebagai bagian dari pentahelix hendaknya langsung
memberi pengamanan kepada pembawa bantuan,
maupun saat pendistribusiannya, tanpa menunggu perintah atasan.
Jangan-jangan
peristiwa penghadangan ini dianggap hal biasa terjadi di awal masa tanggap
darurat. Seperti halnya yang disampaikan oleh BNPB, terkait data jumlah korban
meninggal yang tidak sama antara pernyataan yang dikeluarkan lembaga yang satu
dengan lainnya.
Apakah
harus selalu begitu, di awal masa tanggap darurat semua pihak masih larut dalam
kepanikan dan membiarkan terjadinya kesimpang siuran informasi ?. sebuah
pembelajaran yang layak dibahas bersama sambil nyruput kopi. [eBas/MingguPahing-27112022].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar