Minggu, 27 November 2022

PENGHADANGAN BANTUAN KORBAN BENCANA

Dalam postingannya di grup whatsapp PRBBK Indonesia, Kang Aep bilang, Setiap ada kejadian bencana, kenapa selalu ada penjarahan bantuan dari warga lokal. Tanya itu muncul karena adanya penghadangan yang dilakukan oleh para pengungsi yang mendirikan tenda pengungsian mandiri dan merasa belum mendapat bantuan.

Memang, peristiwa penghadangan itu sering terjadi di wilayah bencana. Baik itu skala kecil dan tidak terberitakan, maupun yang diberitakan tanpa ada tindakan tegas dari aparat karena dianggap sebagai tindakan keterpaksaan atas nama kemanusiaan.

Ada yang bilang, Kadang urusan perut itu bisa menjadikan gelap mata, dan itu bisa terjadi dimana saja, oleh siapa saja, dan berupa apa saja. Jadi, banyak alasan mengapa terjadi penghadangan. Termasuk pandainya si oknum mendirikan posko pengungsian abal-abal hanya untuk mendapatkan bantuan kemudian dijual.

Dengan kata lain, beragam motif yang mendasari perbuatannya. Ada yang hanya demi sekedar sebungkus indomie untuk mengganjal perut. Juga ada yang memang berniat nakal memanipulasi data demi mengeruk keuntungan dari aneka bantuan yang bisa didapat (termasuk memotong anggaran proyek di semua fase penanganan bencana).

Rujito, dalam komentarnya di grup whatsapp mengatakan, memang kecemburuan sosial diantara para penyintas itu muncul karena dropping bantuan yang tidak merata. Apalagi jika tempat pengungsiannya sulit dijangkau kendaraan. Alamat luput dari perhatian.

Masih kata Rujito, ketidak merataan ini juga terjadi karena masing-masing entitas pemberi bantuan itu mendasarkan pada issue lembaga masing-masing  dan  (dengan berdalih agar cepet nyampe di kelompok sasaran), maka masing-masing entitas pemberi bantuan langsung droping/memberikan sendiri, tidak menyerahkan ke  posko.

“Padahal di posko sudah ada daftar warga manĂ  yang mau didrop bantuan lebih dulu. Pemberi bantuan yang tidak terkoordinasi inilah yang menjadi trigger kecemburuan sosial, sehingga muncul tindakan penghadangan.,” Katanya.

Sementara itu, dibeberapa kasus, pihak posko terkesan lamban ribet dalam mendistribusikan bantuan kepada pengungsi, karena adanya aturan yang harus dipenuhi (Standard Operating Procedure (SOP) adalah sebuah dokumen berisikan instruksi tertulis yang menentukan bagaimana bisnis Anda harus dijalankan sesuai dengan prosedur yang benar), sehingga warga lebih suka minta bantuan ke tenda relawan/NGO yang ada disekitar pengungsian.

Sesungguhnyalah, kejadian semacam ini selalu terulang dengan berbagai modus, tanpa ada upaya menyudahi. Misalnya dengan membuat regulasi untuk mengamankan bantuan dari penghadangan. Polisi dan TNI sebagai bagian dari pentahelix hendaknya langsung memberi pengamanan kepada pembawa bantuan, maupun saat pendistribusiannya, tanpa menunggu perintah atasan.

Jangan-jangan peristiwa penghadangan ini dianggap hal biasa terjadi di awal masa tanggap darurat. Seperti halnya yang disampaikan oleh BNPB, terkait data jumlah korban meninggal yang tidak sama antara pernyataan yang dikeluarkan lembaga yang satu dengan lainnya.

Apakah harus selalu begitu, di awal masa tanggap darurat semua pihak masih larut dalam kepanikan dan membiarkan terjadinya kesimpang siuran informasi ?. sebuah pembelajaran yang layak dibahas bersama sambil nyruput kopi. [eBas/MingguPahing-27112022].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar