Disclaimer.
Ini cerita subjektif saya saja,
dan semoga tidak dijadikan bahan untuk mendiskreditkan siapa pun. (mungkin
tulisan ini cocok di beri judul “Bapak Berbaju Biru Belagu”, red)
Mari bersama kita simak cerita
Fauzan mukrim untuk pembelajaran bagi kita para pegiat kemanusiaan (ya
relawannya, ya pejabatnya), agar bisa saling memahami, bahwa kerja-kerja
kemanusiaan itu tujuannya satu, menyelamatkan sesamanya.
Sesungguhnyalah, pejabat itu
harus ngerti bahwa tanpa bantuan seseorang (relawan) dalam menangani bencana,
pastilah akan keteteran dan korban akan semakin banyak. Karena dibeberapa
kasus, pejabat itu kalau ada bencana akan disibukkan dengan urusan administrasi
sehingga tidak bisa fokus pada upaya penyelamatan korban. Makanya perlu
kehadiran seseorang untuk membantu dengan ikhlas dan sukarela. Untuk itu
hargailah jerih payahnya. Jangan dibentak-bentak, jangan disuruh-suruh karena
dia bukan bawahanmu ……
Ayo kita mulai membaca dengan
hati, jangan lupa siapkan secangkir kopi ……
………
Ketika saya sampai di Perumahan
Wisma Tajur, saya melihat anak muda berbaju merah pudar itu sudah sibuk di
dekat gapura kompleks. Ia bersama seorang warga bernama Pak Hendri dan seorang
ketua RT, mengatur evakuasi dan distribusi logistik. Di tangannya ada sebuah
buku yang berisi catatan warga di mana saja yang belum dievakuasi. Hanya ada
satu perahu karet milik BNPB. Satu perahu karet lagi barusan ditarik untuk
dipindahkan ke Pondok Bahar.
Perumahan Wisma Tajur ini salah
satu wilayah banjir terparah di Tangerang. RW 07 yang terdiri dari sekitar 600
rumah, semua terendam. Tadi malam air mencapai atap, tapi Kamis siang sudah
surut sampai sedada. Lokasinya hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari
kompleksku. Saya melipir ke situ karena permintaan kantor untuk live report, setelah
mengungsikan keluargaku ke tempat yang aman. Kompleksku juga kebanjiran, tapi
tidak separah Wisma Tajur. Di tempatku "cuma" sepinggang.
Dari obrolan sekilas dengan anak
muda itu, saya tahu kalau dia bukan warga setempat. Ia pekerja NGO dan
kebetulan ibu mertuanya juga terjebak di dalam kompleks. Dia mengaku pengantin
baru. Sudah dari semalam di situ. Entah perintah kantor atau karena
inisiatifnya sendiri, dia mengambil peran sebagai "kordinator". Saya
mengenal beberapa anak muda seperti ini. Mereka yang gampang tergerak tanpa
harus menunggu birokrasi. Bleeding heart, sebutannya.
Saya perhatikan dia memang cukup
berperan. Dia mengkordinir pemasangan jalur tambang supaya warga bisa masuk
sendiri membawa logistik atau mengevakuasi keluarga tanpa perlu menunggu
perahu.
Saya lihat dia agak keteteran,
jadi saya putuskan untuk membantunya, sambil saya mengumpulkan bahan liputan
untuk kantor. Saya bantu mengumpulkan logistik yang mau diantar per blok.
Untungnya, tak lama kemudian, 5 orang tentara datang. Saya jelaskan kondisinya
dan mereka bersedia membantu mengantar logistik untuk warga yang masih bertahan
di dalam. Tapi data siapa yang harus dievakuasi dan diantarkan logistik, tetap
dipegang oleh anak muda itu. Kita sebut saja namanya R.
"Baru gue lihat ada wartawan
abis kerja turun ngebantu, Bang," katanya.
Saya bilang rumah saya juga kebanjiran, dan secara geografis ini masih wilayah tetangga saya juga.
Saya bilang rumah saya juga kebanjiran, dan secara geografis ini masih wilayah tetangga saya juga.
"Biasanya langsung
ngopi," katanya lagi. Saya tertawa.
Semua lancar dan baik saja,
sampai kemudian datang seorang bapak berbaju biru itu.
"Siapa kamu? Datang malah ngatur-ngatur!" teriaknya. Dia marah dan kelihatannya merasa dilangkahi wewenangnya oleh R.
"Siapa kamu? Datang malah ngatur-ngatur!" teriaknya. Dia marah dan kelihatannya merasa dilangkahi wewenangnya oleh R.
Ia memarahi R dengan kata-kata
keras dan menyebut dirinya sebagai pejabat kecamatan yang lebih bertanggungjawab.
Saya menarik R mundur dan
menenangkannya. Istri R yang juga ada di situ menunggu ibunya dievakuasi,
memeluk R. "Tenangin suamimu, Mbak." Saya bilang begitu.
Beberapa orang, termasuk petugas
Babinsa, menarik si bapak pejabat.
R mengangkat tangannya yang
menggenggam buku itu ke atas.
"Saya buang ini
sekarang!" katanya menahan marah.
Dan memang, catatan siapa yang
sudah dan masih harus dievakuasi itu, cuma R yang pegang. Perangkat RW
mempercayakan padanya.
Ketika kemudian petugas Tagana
Baznas datang, R menyerahkan catatannya itu kepada rescuer dan dia sendiri
menepi entah ke mana. Mungkin menenangkan diri.
Saya berusaha memahami
situasinya. Beberapa warga yang saya tanya, jelas membela R.
"Dia sudah dari semalam
bantu kita," kata seorang ibu.
"Tak apa, Mas, warga juga
tau kok siapa yang kerja," kata seorang remaja yang sedari tadi saya lihat
memandu perahu karet. Badannya basah kuyup.
Saya sempat merekam ketika
pejabat itu memarahi R dengan kata-kata keras sambil menyebut siapa dirinya.
Tapi saya simpan untuk diri sendiri saja.
Saya juga tak tahu lagi ke mana
sang pejabat pergi setelah itu. Saya baru bertemu dia lagi di posko ketika
Wakil Walikota datang meninjau.
Saya beli sebotol teh Pucuk
Harum. Meminum tegukan pertama.
Pak Wawali disambut para perangkat,
yaitu ketua RW, Lurah, dan oh juga bapak yang marah-marah tadi. Setelah itu
mereka berfoto dengan mandatory style: memberi jempol atau mengepalkan tangan.
Barangkali di tegukan keempat
atau kelima teh pucukku, rombongan itu sudah pamit pergi lagi.
Saya dengar seseorang berteriak. Hidup, Pak Wakil! Tahun depan Wali Kota!"
Saya mengerjakan tugasku live by
phone ke kantor, dan setelah itu pergi mencari R. Saya melihat ia menggendong
bayi yang tampak lemah. Ibu si bayi mengikut di belakangnya. Bayi itu demam dan
butuh bantuan medis.
Saya arahkan ke posko tempat tadi
para bapak pejabat itu berfoto.
"Lo naik apa, Bang?"
tanyanya. Bayi yang dia gendong itu tersingkap sarungnya. Mungil sekali. Saya
jadi ingat Rain, dan hampir menangis lagi setelah tadi melihat anak kecil yang
popoknya penuh itu.
"Motor," kataku.
"Ntar gue nebeng lo pulang
ya."
Saya iyakan. Saya menunggunya di
dekat motorku terparkir, tapi dia tak juga muncul. Kepalaku agak pening dan
pertigaanku mulai terasa lembab setelah terendam sepaha tadi.
Saya memutuskan pulang duluan.
Saya berharap, mudah-mudahan nanti kami bisa berjumpa lagi di tempat yang lebih
kering dan tak ada orang teriak-teriak. [fm]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar